Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi

(Guru Besar UIN Jakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Dalam proses metabolisme tubuh, makanan yang dikonsumsi sangat menentukan energi dan kesehatan tubuh. Sedangkan dari sisi agama, kehalalan makanan yang dikonsumsi merupakan hal pokok yang sangat prinsip. Sebagai kewajiban agama yang telah diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi saw., serta menentukan keselamatan hidup manusia di dunia dan akhirat. (HalalMUI)

Kalau pangan yang dikonsumsi halal, insyaAllah pasti selamat. Karena otak-pikiran dan energi gerak yang dihasilkan akan selalu mengarah pada hal-hal yang halal juga, sebagai amal-kebajikan. Tapi kalau haram niscaya akan membawa pada keburukan, sehingga jadi celaka. Perhatikanlah makna hadits yang tegas menyatakan, “Setiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka api neraka lebih utama baginya (lebih layak membakarnya).” (HR. At-Thabrani).

Dalam hadits yang lain berupa wasiat Rasulullah saw., kepada shahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan  makna: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (HR. At-Turmudzi).

Disebutkan oleh An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar: telah diriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dari Nabi saw. bahwa ketika makanan didekatkan kepadanya, beliau saw. biasa mengucapkan “Allahumma baarik lanaa fii maa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban naar, bismillah” (Ya Allah berkahilah kami dengan rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka). Do’a tersebut biasa kita dengar dan dipraktekkan oleh kaum muslimin.

Subhanallah wal-hamdulillah, doa ketika akan makan dari hadits Nabi saw. ini biasa dikenalkan sejak kecil, dan mengingatkan sekaligus menekankan urgensi yang sangat mendasar. Yakni, agar dapat hidup berkah, maka rezeki (makanan) yang dikonsumsi harus halal. Sehingga dapat terhindar dari siksa neraka. Sebaliknya, kalau tidak halal, tentu tidak akan berkah, dengan dampak tidak selamat di dunia, sedangkan di akhirat diancam siksa neraka. Na’udzubillahi min dzalik. (HalalMUI)

Dengan panduan yang telah ditetapkan ini, maka sebagai orang beriman, kita harus berusaha mencari rezeki dan mengkonsumsi makanan yang halal. Dalam satu hadits Nabi saw. juga disebutkan, mencari rezeki yang halal itu wajib hukumnya, di antara kewajiban agama yang lainnya: “Tholabul halaali fariidhotun ba’dal fariidhoh. (Mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardhu).” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bayhaqi).

Mencari yang halal merupakan kewajiban atas setiap muslim, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin: “Ketahuilah bahwa mencari yang halal adalah fardhu atas tiap muslim.” Karena demikianlah perintah Allah dalam ayat-ayat-Nya dan perintah Rasul saw. dalam hadits-haditsnya. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168).

As-Sa’di  menafsirkan: “Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada manusia seluruhnya mukmin maupun kafir, bahwa Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka yaitu dengan Allah perintahkan mereka agar memakan dari seluruh yang ada di muka bumi berupa biji-bijian, buah-buahan, dan hewan-hewan selama keadaannya halal. Yakni, dibolehkan bagi kalian untuk memakannya, bukan dengan cara merampok, mencuri, atau dengan cara transaksi yang haram, atau cara haram yang lain, atau untuk membantu yang haram.” (Tafsir As-Sa’di). (HalalMUI)

Halal secara Komprehensif

Lebih lanjut lagi, para ulama tafsir menjelaskan ketentuan halal ini bersifat komprehensif, terdiri dari empat aspek. Pertama Halal Li-dzatihi, halal secara dzatnya. Yakni bahwa semua bahan makanan yang disediakan Allah di muka bumi adalah halal. Seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan hewan ayam, kambing, sapi, dll. Kecuali sedikit yang secara dzatnya diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur’an: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. 5: 3).

Diharamkan juga secara dzatnya adalah khamar. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 5: 90).

Kedua, halal karena prosesnya. Seperti hewan yang disembelih harus sesuai dengan kaidah syariah. Perhatikanlah kelanjutan ayat dalam surat Al-Maidah di atas: “…dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” (QS. 5: 3). (HalalMUI)

Zero Tolerance

Termasuk dalam hal ini adalah proses pengolahan bahan pangan, tidak boleh bercampur dengan yang haram, seperti babi. Para ulama di MUI telah menetapkan prinsip yang berkenaan dengan babi dan segala bentuk turunannya ini: tidak ada toleransi sedikit pun, “Zero Tolerance”. Maka semua produk turunannya juga menjadi haram.

Demikian pula dalam proses penyembelihan hewan halal, tidak boleh bercampur dengan babi. Maka dalam ketentuan MUI, rumah potong hewan (RPH) harus sepenuhnya untuk hewan yang halal (fully dedicated for halal slaughtering). Tidak boleh di satu RPH dimanfaatkan untuk menyembelih sapi, lalu menyembelih babi.

Ketiga, halal dalam penyajiannya. Misalnya di restoran, tidak boleh menyajikan makanan yang halal bersamaan atau berdekatan dengan makanan yang haram. Dalam hadits Nabi saw., orang beriman dilarang berada dalam satu majelis yang di dalamnya dihidangkan khamar. “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali duduk pada suatu hidangan yang padanya diedarkan khamr.” [HR. Ahmad].

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk pada jamuan makan yang  ada minum khamr padanya.” [HR. Ad-Darimiy]. (HalalMUI)

Menurut ketentuan hukum positif di Indonesia juga, ada peraturan pemerntah bahwa minuman keras tidak boleh dijual secara bebas di sembarang tempat.

Merujuk pada nash ini, dengan kaidah Qiyash atau analogi, maka di supermarket, umpamanya, tidak boleh ada display daging sapi, misalnya, yang bersebelahan atau berdekatan dengan daging babi, pada satu storage display. Meskipun wadah untuk kedua jenis daging itu berbeda.

Keempat, halal cara memperolehnya. Yakni dengan usaha atau kerja yang diperbolehkan dalam Islam. Bukan yang dilarang agama. Berkenaan dengan cara memperoleh rezeki ini, agaknya banyak orang yang lalai. Misalnya, rezeki (uang) yang diperoleh dari korupsi atau mencuri. Hal itu dilarang dan diharamkan dalam Islam. Maka makanan yang dibeli-dikonsumsi dengan uang dari korupsi itu hukumnya menjadi haram pula, meskipun berupa nasi, atau buah-buahan dll, yang jelas halal secara dzatiyah.

Perhatikanlah panduan-larangan yang harus dihindarkan dalam cara mencari rezeki ini. Diantaranya dilarang mengambil harta atau memakan rezeki dengan cara yang zhalim atau bathil: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (QS. An-Nisaa’: 29). (HalalMUI)

Cara yang bathil dalam mencari rezeki, seperti mengambil tanpa hak atau mencuri, dengan segala bentuk-modusnya, termasuk korupsi, suap-menyuap, menipu, berbuat curang, melakukan tindakan yang merugikan orang lain, mengurangi timbangan, dll.

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 5: 38).

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6).

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. 6: 152). (HalalMUI)

“Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. 11: 85).

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah Saw. melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap. [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190].

Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (…dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279).

Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat dari Allah.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Al-Qasim bin Mukhaimirah ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu dengannya ia menyambung silaturahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya maka ia akan dilemparkan dengan sebab itu ke neraka jahannam.” (HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat Shahih At-Targhib, 2/148 no. 1721). (HalalMUI)

Cara mendapatkan rezeki yang halal ini tentu harus dipahami, dihayati dan diamalkan sepenuh hati oleh setiap diri dan keluarga kita semua, sebagai anggota masyarakat. Tentu akan menjadi sangat indah dan damai hidup masyarakat kita, kalau konsisten dengan konsumsi halal. Sehingga semua perbuatan yang dilarang agama ini ditinggalkan penuh kesungguhan. Tidak ada tipu-menipu, tidak berbuat curang, korupsi, suap-menyuap, mencuri, merampok, dan berbagai tindakan kriminal lainnya. Termasuk juga penyalah-gunaan jabatan dan wewenang, misalnya. Sebab semua perbuatan pidana itu merupakan pangkal konflik, menimbulkan keresahan bahkan kekacauan dalam kehidupan sosial.

Dengan demikian jelas, konsumsi yang halal secara konprehensif memiliki pengertian dan cakupan yang sangat luas. Seluas kehidupan kita di dunia ini. Maka sangat tepat kalau disebut, “Halal is my life”. Sehingga jelas pula hasilnya, konsumsi yang halal akan dapat membentuk kehidupan masyarakat yang aman dan damai. (***)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

//
Assalamu'alaikum, Selamat datang di pelayanan Customer Care LPPOM
👋 Apa ada yang bisa kami bantu?