Sebagai muslim, upaya menjaga kesehatan harus diikuti dengan memperhatikan kehalalan produk yang dikonsumsi, termasuk vitamin. Apalagi jika bahan baku produk banyak berasal dari luar negeri. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2021 menyebutkan bahwa sumber bahan baku obat yang didapat masih impor 95% dari luar negeri, yakni dari Tiongkok, India, Amerika, dan Eropa.
(Baca juga: Menjamin Obat Halal, Kemenkes Dorong Industri Farmasi Indonesia Produksi Bahan Baku Sendiri)
Vitamin adalah produk yang mengandung satu atau kombinasi bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi (AKG), yaitu vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, serta asam amino. Vitamin dapat berbentuk tablet, serbuk, kapsul, serta produk cair berupa sirup atau larutan.
Menurut auditor senior LPPOM MUI, Drs. Chilwan Pandji, M.Apt.Sc., jika dilihat dari sumbernya, vitamin terbagi menjadi dua, yaitu herbal dan kimiawi. Vitamin herbal mempunyai kandungan ekstrak tumbuhan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang diproses sedemikian rupa sehingga berubah bentuk menjadi pil atau serbuk tanpa adanya campuran bahan-bahan kimia.
“Sedangkan vitamin kimiawi mempunyai kandungan bahan-bahan yang dicampur dan diproses dengan sintesa kimiawi, sehingga didapat senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu,” papar Chilwan.
Secara proses, baik herbal maupun kimiawi, produksi dan bahan baku vitamin relatif sama, yakni disusun dari berbagai bahan baku, bahan pembantu dan bahan penolong. Setiap proses dan bahan berpotensi menyumbangkan titik kritis pada vitamin.
“Sebagai contoh, titik kritis kehalalan vitamin C dapat dicermati dari proses pembuatannya, yaitu melalui sintesis kimiawi atau proses biotransformasi. Berdasarkan pengamatan di beberapa industri, umumnya dipakai cara biotransformasi menggunakan mikroorganisme, yang diperbanyak dalam suatu media pertumbuhan. Media pertumbuhan memerlukan sumber karbon, sumber nitrogen, dan bahan-bahan lain yang harus diperiksa status kehalalannya,” kata dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University, Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr.
Vitamin C sangat mudah teroksidasi sehingga pihak industri menggunakan matriks pelindung atau biasa dikenal dengan istilah coating agent, seperti gelatin. Gelatin diperoleh melalui hidrolisis parsial kolagen yang berasal dari kulit dan/atau tulang hewan dengan pereaksi asam atau basa. Jenis hewan dan cara penyembelihan hewan perlu mendapatkan perhatian, agar dapat dipastikan status kehalalannya.
Sesuai dengan namanya, citarasa asam vitamin C yang asam dapat ditutupi dengan menambahkan perisa atau pemanis tertentu, agar penerimaan konsumen menjadi baik. Umumnya industri menggunakan perisa sintetik yang dibuat dari berbagai senyawa kimia, dan dalam proses pengolahannya digunakan pelarut tertentu. Dengan demikian status kehalalan perisa yang digunakan harus dapat ditunjukkan dengan sertifikat halal.
Penambahan pemanis dalam pembuatan vitamin bertujuan untuk mengurangi rasa asam. Pemanis yang ditambahkan dapat berupa gula atau pemanis buatan (seperti aspartam). Dalam proses pembuatan gula dilakukan pemurnian menggunakan aktif karbon. Status kehalalan aktif karbon harus jelas, sama halnya dengan pemanis aspartam. Sumber asam amino yang digunakan, yaitu asam amino fenilalanin dan aspartat harus jelas status kehalalannya.
Atas dasar penjelasan di atas, sangat penting bagi umat muslim untuk benar-benar menyeleksi produk-produk yang akan dikonsumsi, termasuk vitamin. Kini, menyeleksi produk halal sudah bukan menjadi hal yang rumit. LPPOM MUI menyajikan daftar produk halal melalui website www.halalmui.org dan aplikasi Halal MUI. Keduanya dapat diakses masyarakat dengan mudah dan transparan. (YN)