Search
Search

Hukum Memakan Darah Ikan

Diasuh oleh: Dr. KH. Maulana Hasanuddin, M.A. (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat); dan Dr. KH. Abdul Halim Sholeh, M.A. (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat).

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ibu kami sering mengolah ikan untuk konsumsi keluarga. Kadang kala, saat memotong-motong ikan, seperti ikan tongkol segar yang besar, keluar darah yang mengalir. Begitu juga ketika memotong kecil-kecil daging ikan itu, ada juga bintik-bintik darah yang melekat di daging ikan tersebut. Namun sulit untuk dibersihkan hingga tuntas.

Kami pernah mendapat info dari majelis pengajian, bahwa darah itu haram dikonsumsi. Maka kami menjadi bingung dan ragu dengan kondisi ini, apakah daging ikan yang mengandung darah itu halal untuk dikonsumsi? Maka saya pun mengajukan pertanyaan ini. Bagaimana sebenarnya hukum mengkonsumsi atau memakan ikan yang di antara dagingnya ada bintik-bintik merah darah ikan itu? Atas jawaban dan penjelasan yang diberikan, kami mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Bakhtiar, Jakarta

Jawaban:

Wa’laikumsalam wr. wb.

Secara nash, dari ayat Al-Qur’an, memakan daging ikan atau produk apa pun yang berasal dari laut hukumnya halal. Hal ini disebutkan dalam ayat yang artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Maidah, 5: 96). 

Termasuk juga dalam pengertian laut di sini ialah sungai, danau, kolam, dan sebagainya.

Sedangkan darah ikan yang mengalir, termasuk ke dalam pengertian darah secara umum yang disebut di dalam Al-Qur’an: “Daman Masfuuhan”, darah yang mengalir. Perhatikanlah makna ayat: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir (daman masfuuhan) atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu rijsun (najis)…” (QS. Al-An’am, 6: 145).

Ath-Thabari menjelaskan makna “rijsun” dalam ayat ini: “Ar-rijsu artinya najis dan kotor” (Jami’ul Bayan, 8/53). Maka ayat ini menyatakan bahwa bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi, semuanya adalah najis.

Kemudian, Imam An-Nawawi membawakan sebuah hadits dalam Syarah Shahih Muslim dalam bab Najisnya Darah dan Cara Membersihkannya yang digunakan sebagian ulama untuk menyatakan kenajisan darah, yakni hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash Shiddiq: “Datang seorang wanita kepada Nabi saw., ia berkata: salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haid, apa yang perlu dilakukan? Nabi bersabda: hendaknya kamu kerik dan sikat dengan menggunakan air kemudian bilas, barulah setelah itu silakan gunakan untuk shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya, Ibnul Arabi mengatakan “Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar-Ruhuni, 1/73). Al-Qurthubi juga menyatakan “Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/222). Bahkan secara tegas An-Nawawi mengatakan “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin” (Syarah Shahih Muslim, 3/200).

Dari makna ayat (QS. Al-An’am, 6: 145) tersebut, patut digarisbawahi, yang diharamkan adalah Daman Masfuuhan (darah yang mengalir). Karena dalam hadits Nabi saw. disebutkan ada jenis darah yang halal dikonsumsi. Perhatikanlah Nabi saw. bersabda dengan makna, “Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Darah ikan (yakni darah yang mengalir) secara umum termasuk ke dalam kategori ini, tentu adalah ikan yang besar. Contohnya adalah ikan tongkol yang dipertanyakan di atas, dan ikan-ikan yang berukuran lebih besar lagi. Meskipun darahnya tidak sebanyak hewan darat yang memiliki darah mengalir, seperti ayam, kambing, dan lainnya.

Ikan yang besar, seperti tongkol, bila dipotong, akan muncul dan keluar darah yang mengalir, meskipun darah yang mengalir itu sedikit. Darah ikan yang mengalir itu, termasuk ke dalam kategori darah yang dimaksud dalam makna ayat (QS. Al-An’am, 6: 145) tersebut.

Karena itu, darah tersebut harus dibersihkan. Berdasarkan makna ayat itu, darah tersebut termasuk “rijsun” atau najis. Tidak boleh dimakan. Dan kalau terkena pakaian, maka pakaian yang terkena darah atau najis itu harus dicuci hingga warna, bau dan rasa darahnya hilang.

Dari (makna) ayat tentang daging ikan atau produk apa pun yang berasal dari laut hukumnya halal (QS. Al-Maidah, 5: 96), namun darah ikan yang mengalir itu hukumnya haram dan najis. Hal ini dapat dipahami dengan metode Qiyash dalam kaidah Fiqhiyyah, atau secara analogi, yakni daging ayam atau kambing, misalnya, yang disembelih sesuai dengan kaidah syariah, hukumnya halal. Namun, darah hewan yang disembelih itu hukumnya haram dan najis.

Apabila tak ada lagi darah yang mengalir atau darah yang tersisa menempel di daging ikan, maka menurut para ulama, hal itu termasuk kategori Ma’fu ‘Anhu, hal yang dimaafkan. Membersihkan bintik-bintik darah di serat-serat daging ikan itu terbilang sulit, maka cukup sekedar dicuci atau dibilas saja. Itu yang dimaksud dengan Ma’fu ‘Anhu.

Hal ini perlu dipahami dan ditekankan lagi, karena ada hewan laut yang (relatif) berukuran besar namun tidak memiliki darah yang mengalir, seperti cumi-cumi, udang, dan lainnya. Maka hukumnya halal secara mutlak untuk dikonsumsi sesuai dengan makna nash (QS. Al-Maidah, 5: 96) yang telah disebutkan. Wallahu a’lam bish-showab, wal-hamdulillah. (USM)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *